Cahya Alam di tanah Semende.
Lantunan shalawat menyambut pagi di Desa
Datar Lebar, Kecamatan Semende Darat Ulu (SDU), pertanda bagi perayaan Isra’
Mi’raj di kampung ini. Masyrakat Semende bukan hanya terkenal religius tetapi
juga begitu berkerabat dengan alam. Apa yang alam berikan – termasuk Kopi –
jadi modal mereka menyambung kehidupan. Di tempat ini pula, kami (kru kedai
Coffeephile) menelusuri jejak Kopi Arabika Semende. Layaknya permata yang
terhampar di Bukit Barisan.
sesepuh desa sedang bersantai di pagi hari |
pak malai pelopor kopi arabika semendo |
Kehadiran Kopi Arabika seolah menyempil di
tengah penguasaan Kopi Robusta di Sumsel, khususnya Semende. Di awali dengan tradisi masyarakat semende yang religius, mencari ilmu agama sampai ke tanah aceh (serambi mekah), Dibawa beberapa kg kopi biji mentah pertama
kali oleh seorang warga semende sepulang belajar ilmu agama di Aceh pada tahun ’90an, Kopi yang khas
dengan lancip daunnya ini tidak seketika mendapat perhatian dari petani
setempat. Pak Malai (73), sebagai petani yang disegani di kampungnya, Desa
Cahya Alam, tak lantas patah arang. Hingga akhirnya, pada tahun 1996,
bermodalkan 14 bibit yang dirawat lima tahun sebelumnya, Kopi Arabika berhasil
menancapkan sejarahnya di tanah Semende.
kopi arabika petik merah |
Tercatat hingga 3000-an pohon Arabika yang
tersebar di beberapa Desa di SDU, namun saat ini produksi biji hanya terfokus
di dua Desa, Yakni Desa Cahaya Alam – tanah kelahirannya – dan Desa Segamit.
Mengapa demikian? Hasil obrolan kami dengan ketua Koperasi Meraje cum Ketua
Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Sumsel, Pak Mulustan,
mengungkap adanya masalah konsistensi di tingkat petani. Dari puluhan kelompok
tani yang dijaring pada awal proyek ekspor Kopi Arabika Semendo, tidak ada yang
bertahan, melainkan hanya 4-6 kelompok saja.
Pak Mulustan merasa kecewa dengan ulah
“nakal” petani yang menyalahi prosedur. Sebut saja, petik buah kopi mentah
hingga mencampur biji Arabika dengan Robusta untuk menambah bobot gelondong
kopi. Maklum, berkat proyek ini, Kopi Arabika Semendo mendapat nilai jual cukup
baik, melampaui kopi robusta. Demi menjaga kepercayaan
eksportir, Pak Mulustan terpaksa memangkas beberapa kelompok tani hingga
tersisa Pak Fahmi dan Tengku Afif yang kini mewakili kelompok tani di desany
masing-masing.
Dari cerita sebelumnya, kami mulai
memahami bahwa rantai produksi biji arabika semendo melibatkan dua pihak, yakni
petani dan koperasi melalui Unit Pengolahan Hasil (UPH). Metode pengolahan
adalah metode basah (wet process) – link —
(http://bincangkopi.com/natural-washed-honey-processed/). Dengan prosedur
seperti tertera pada diagram ini:
Cita rasa kopi yang ditanam di ketinggian
1400-1700 mdpl ini begitu menarik. Seperti saudara jauhnya di Aceh, Kopi
Arabika Semendo memiliki rasa karamel, vanila dan keasaman yang lembut. Metode
basah dalam produksi biji menghasilkan body yang tidak begitu pekat, rasa akhir
yang ringan, dan oh iya, ada aroma jeruk squash dan terkadang muncul wangi bunga-bunga yang muncul di awal seduhan.
Sulit dijelaskan kalau tidak mencobanya sendiri, karena kami pikir, lidah
setiap orang belum tentu sama.
surau dusun datar lebar |
Mimpi tentang Kopi Arabika Semendo sebagai
komoditas khas Sumsel yang mendunia masih jauh membentang. Dengan keterbatasan
infrastruktur, serta kesadaran petani yang perlu dibangun. Pak Mulustan dan
kawan-kawan tetap berjuang agar lima tahun mendatang lebih dari 60% dataran
tinggi Semende akan ditanami Kawe Arabika. Kita semua bisa membantu perjuangan
beliau, tanpa perlu meninggalkan kota dan kesibukan kita di Palembang, cukup
dengan datang ke kedai Coffeephile – Plaju (link). Sesapi aroma dan semangat di
balik cangkir Kopi Arabika Semendo dan jangan lupa ceritakan nikmatnya kepada
handai taulan, begitu mudahnya bukan? (mal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar