ROBUSTA mendengar kata itu masyarakat sumatera selatan pada
umum sudah pasti mengetahui bahwa itu adalah sebutan untuk kopi, di Sumatera Selatan sendiri kopi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari
pagi hari sebagai pendamping sarapan pagi, sampai ke-malam hari sebagai teman
untuk begadang (re:siskamling), masyrakat
di Sumatera Selatan.
Sedangkan dalam hal industri kopi nasional, kopi asal
Sumatera Selatan acapkali dipandang sebelah mata, dalam hal citarasa dan
reputasi yang rendah. Meski sempat menjadi primadona pada saat VOC berkuasa,
kopi Sumatera Selatan saat ini tak punya nama di mata konsumen nasional.
Padahal dalam hal kuantitas produksi kopi asal sumatera
selatan menduduki pringkat no 1, dengan luas lahan 254.374 HA dengan kapasitas
produksi mencapai 147.090 TO, (angka estimasi tahun 2015). (sumber : Statistik Perkebunan Indonesia
Komoditas Kopi 2013 – 2015).
Perkebunan kopi robusta di sumatera selatan tersebar di
bebrapa daerah kabupaten, dan kota,
meliputi daerah dataran tinggi bukit barisan membentang dari barat ke timur
sumatera selatan, yaitu kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat, kota Pagar
Alam, kabupaten Muara Enim, kabupaten OKU, OKU Selatan, dan OKU Timur. Atau biasa
di kenal dengan dataran tinggi Besemah Libae dan Semende Panjang.
sumber : antaranews.com |
Akan tetapi potensi yang begitu besar tidak didukung dengan
kualitas kopi robusta yang dihasilkan, Biji kopi robusta Sumsel yang dipanen
asalan dan pasca panen yang serampangan makin memperparah citra buruk yang
disematkan terhadap kualitas kopi robusta asal bumi sriwijaya.
Biji kopi robusta yang dikeringkan di atas aspal dan
dilindas oleh ban mobil bukanlah yang diinginkan oleh konsumen dunia.
Parahnya, mayoritas petani kopi robusta Sumsel ‘disinyalir’
melakukannya.
Meskipun ada sebagian kecil yang telah tercerdaskan untuk
memperbaiki mutunya, dampaknya telah terlanjur viral.
Stereotipe kopi robusta aspal atau kopi robusta karet ban
menjadi julukan yang menakutkan yang menghambat perkembangan kopirobusta asal
Sumatera Selatan. Memperbaiki citra yang terlanjur hancur bukanlah hal yang
sederhana, tapi juga bukan hal yang tidak mungkin.
Selama ada keinginan untuk dapat berubah menjadi lebih baik,
maka selalu ada jalan.
Penerapan prosedur Good Agriculture Practices (GAP) menjadi
solusinya.
GAP adalah penerapan sistem proses produksi pertanian yang
menggunakan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan, sehingga produk panen
aman konsumsi, kesejahteraan pekerja diperhatikan dan usaha tani memberikan
keuntungan ekonomi bagi petani.
Pengolahan kopi robusta yang baik mulai dari pemetikan
hingga proses pengeringan yang ‘manusiawi’ adalah yang perlu dilakukan oleh
petani kopi robusta Sumsel agar citra kopi robusta bumi Sriwijaya kembali jaya.
Menurut Pusat Kajian Sosial Ekonomi Kebijakan Pertanian dan
Pedesaan, Litbang Kementerian Pertanian Republik Indonesia, GAP merupakan salah
satu barrier yang harus ‘ditembus’ untuk dapat berkecimpung dalam perdagangan
Internasional.
Dengan berpartisipasi dalam International Trading, kopi
Sumsel bakal punya nama.
Seperti kopi Gayo asal Aceh yang berjaya di Amerika dan kopi
Toraja yang terkenal di negeri matahari, Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar