Selasa, 18 Juli 2017

Robusta Sumsel (Sumatera Selatan) PRIMADONA Tak Bersuara

ROBUSTA mendengar kata itu masyarakat sumatera selatan pada umum sudah pasti mengetahui bahwa itu adalah sebutan untuk kopi, di Sumatera Selatan sendiri kopi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari pagi hari sebagai pendamping sarapan pagi, sampai ke-malam hari sebagai teman untuk begadang  (re:siskamling), masyrakat di Sumatera Selatan.



Sedangkan dalam hal industri kopi nasional, kopi asal Sumatera Selatan acapkali dipandang sebelah mata, dalam hal citarasa dan reputasi yang rendah. Meski sempat menjadi primadona pada saat VOC berkuasa, kopi Sumatera Selatan saat ini tak punya nama di mata konsumen nasional.
Padahal dalam hal kuantitas produksi kopi asal sumatera selatan menduduki pringkat no 1, dengan luas lahan 254.374 HA dengan kapasitas produksi mencapai 147.090 TO, (angka estimasi tahun 2015). (sumber : Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kopi 2013 – 2015).

Perkebunan kopi robusta di sumatera selatan tersebar di bebrapa daerah kabupaten, dan  kota, meliputi daerah dataran tinggi bukit barisan membentang dari barat ke timur sumatera selatan, yaitu kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat, kota Pagar Alam, kabupaten Muara Enim, kabupaten OKU, OKU Selatan, dan OKU Timur. Atau biasa di kenal dengan dataran tinggi Besemah Libae dan Semende Panjang.
sumber : antaranews.com 
Akan tetapi potensi yang begitu besar tidak didukung dengan kualitas kopi robusta yang dihasilkan, Biji kopi robusta Sumsel yang dipanen asalan dan pasca panen yang serampangan makin memperparah citra buruk yang disematkan terhadap kualitas kopi robusta asal bumi sriwijaya.
Biji kopi robusta yang dikeringkan di atas aspal dan dilindas oleh ban mobil bukanlah yang diinginkan oleh konsumen dunia.
Parahnya, mayoritas petani kopi robusta Sumsel ‘disinyalir’ melakukannya.
Meskipun ada sebagian kecil yang telah tercerdaskan untuk memperbaiki mutunya, dampaknya telah terlanjur viral.
Stereotipe kopi robusta aspal atau kopi robusta karet ban menjadi julukan yang menakutkan yang menghambat perkembangan kopirobusta asal Sumatera Selatan. Memperbaiki citra yang terlanjur hancur bukanlah hal yang sederhana, tapi juga bukan hal yang tidak mungkin.
Selama ada keinginan untuk dapat berubah menjadi lebih baik, maka selalu ada jalan.
Penerapan prosedur Good Agriculture Practices (GAP) menjadi solusinya.
GAP adalah penerapan sistem proses produksi pertanian yang menggunakan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan, sehingga produk panen aman konsumsi, kesejahteraan pekerja diperhatikan dan usaha tani memberikan keuntungan ekonomi bagi petani.
Pengolahan kopi robusta yang baik mulai dari pemetikan hingga proses pengeringan yang ‘manusiawi’ adalah yang perlu dilakukan oleh petani kopi robusta Sumsel agar citra kopi robusta  bumi Sriwijaya kembali jaya.
Menurut Pusat Kajian Sosial Ekonomi Kebijakan Pertanian dan Pedesaan, Litbang Kementerian Pertanian Republik Indonesia, GAP merupakan salah satu barrier yang harus ‘ditembus’ untuk dapat berkecimpung dalam perdagangan Internasional.
Dengan berpartisipasi dalam International Trading, kopi Sumsel bakal punya nama.

Seperti kopi Gayo asal Aceh yang berjaya di Amerika dan kopi Toraja yang terkenal di negeri matahari, Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kedai Kopi Terfavorit di Sumsel

Berkunjung ke Kota Palembang, Sumatera Selatan, tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi kedai kopi yang satu ini. Kedai kopi yang dic...